Hanya berdiri diam aku di pintu rumah eyang. Bukan melamun dan bukan melayangkan pikiran kemana-mana. Tapi pandangan dan perhatianku tertuju kepada anak itu. Anak yang nampaknya seusia denganku namun sangat terlihat perbedaan diantara kami. Aku, anak yang sejak lahir sudah tinggal di kota dan dia yang sejak lahir dan entah sampai kapan dia berada di desa ini. Kulitnya hitam dan pirang rambutnya karena terbakar matahari. Tinggi kurus kerempeng tubuhnya hanya dibalut dengan pakaian yang sudah lusuh yang tecoreng-moreng noda tanah lempung. Dan seorang wanita paruh baya di sampingnya, ibunya. Sepasang ibu dan anak itu kelihatan kompak sekali membuat cetakan – cetakan batu bata di bawah matahari yang sedang terik-teriknya menyengat kulit mereka. Memang saat itu adalah musim dimana hampir semua rumah di desa eyangku berbondong-bondong membuat batu bata. Jadi jangan heran jika di setiap halaman rumah terdapat banyak tumpukan batu bata yang sedang dijemur. Dan mereka adalah orang yang dipercaya eyangku untuk membuat batu bata di rumah eyang. Maklumlah karena eyang sudah tua dan sudah tidak secekatan sewaktu masih muda.
Agak ragu dan malu – malu aku mendekati mereka. Karena penasaran ingin tahu tentang gadis itu dan cara membuat batu bata yang aku belum pernah lihat sebelumnya. Tapi aku tidak bisa berbahasa jawa jadi aku takut mereka akan menganggapku aneh jika aku memakai bahasa Indonesia yang biasa aku pakai. Lalu kucoba menyapa mereka seramah yang aku bisa. Dan ibunya menyambutku dengan senyum hangat. Aku mulai menanyakan bagaimana cara membuat batu bata dan dengan sabar ibu itu mengajariku. Namun anaknya nampak tidak terusik oleh kehadiranku, dia tetap serius mengerjakan pekerjaannya.
Peratama – tama tanah diencerkan dengan air terlebih dahulu. Setelah cukup encer tinggal masukkan tanah ke cetakan – cetakan persegi panjang dengan menekan seluruh bagiannya terutama di sudut-sudutnya. Hal ini dilakukan agar bagian sudut tidak berongga. Lalu permukaannya diratakan. Begitulah penjelasan dari ibu pembuat batu bata itu. Aku pun tak sabar ingin mencoba, ternyata membuat batu bata itu gampang –gampang susah. Bisalah sedikit-sedikit aku membuatnya. Tapi tetap saja aku tidak semahir mereka dalam mencetak tanah lempung itu. Ibu itupun tidak ragu untuk mengajariku. Lama – kelamaan aku merasa kehadiranku hanya mengganggu pekerjaan mereka. Jadi aku sudahi saja pekerjaanku dan aku duduk sambil tetap mengamati pekerjaan mereka.
Sebenarnya aku ingin ngobrol denagn mereka, tapi aku bingung ingin bertanya dari mana. Namun karena tak ingin melihatku diam saja ibu itu pun menanyakan nama, usia dan sekolahku dengan bahasa Indonesia yang kental dengan logat jawa. Dari situ aku menduga dia tidak begitu mahir berbahasa Indonesia, dia hanya tidak ingin membuatku canggung. “Aku Naya, aku sekolah di SMP 55 Jakarta kelas 2.” jawabku malu-malu. Aku juga ingin tahu tentang mereka jadi aku tanya saja siapa nama ibu dan anak itu, “Kalau ibu dan anak ibu namanya siapa?” aku juga masih canggung. “Saya Sri dan anak saya Wulan,” jawab sang ibu dengan sedikit menyungging senyum dan Wulan pun ikut tersenyum. Ternyata dibalik wajahnya yang kusam terbakar matahari, senyumnya manis juga.
“Wulan kelas berapa?” lanjutku bertanya tentang anaknya. Wajah ibu Sri langsung terlihat murung, aku jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? “Wulan ini tidak sekolah, Mbak Naya. Mungkin kalau dia sekolah sama seperti Mbak Naya ini. Kalian kan seumuran.” Jawab ibu Sri dengan lemah. “ Loh, kenapa? Bukannya Wulan butuh sekolah?” aku semakin bersemangat untuk bertanya. “Wulan ini kan tidak seberuntung Mbak Naya, ibu hanya pekerja serabutan seperti ini, jadi darimana ibu bisa biayai sekolah Wulan?.” Sesak dadaku mendengarnya. Sejenak dia diam dan kemudian melanjutkan ceritanya, “ Dulu, ibu pernah menyuruhnya sekolah, ibu merasa ini kewajiban ibu sebagai orang tua. Walaupun harus hutang sana –sini akan ibu lakukan untuk membiayai sekolahnya. Tapi Wulan tidak mau, karena katanya dia tidak ingin menyusahkan ibu, dia lebih memilih untuk bekerja seperti ini sekaligus membantu ibu cari uang.” jawabnya. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya.
Tenggorokanku semakin tercekat menahan agar air mataku tidak tumpah sekarang. Selain penampilan kami yang berbeda, ternyata masih sangat banyak perbedaan yang mencolok antara kami. Aku selalu merasa tidak pernah puas atas segala sesuatu yang sudah aku miliki. Aku selalu merengek bila keinginanku tidak terpenuhi oleh mama dan papa. Padahal jika diingat-ingat tentang apa yang sudah aku berikan untuk mereka, sangatlah tidak sebanding dengan pengorbanan Wulan. Aku sudah terbiasa hidup enak sehingga aku sering merasa tidak nyaman ketika berada di lingkungan yang biasa-biasa saja. Sedangkan Wulan tetap bekerja keras di bawah teriknya matahari. Aku selalu bermalas-malasan dan terbiasa dilayani oleh pembantu di rumahku. Sedangkan Wulan mau membantu ibunya mencari sesuap nasi dengan cara seperti ini. Astaga, betapa malunya aku. Dan betapa tidak berharganya aku di hadapan para pekerja keras ini.
Setelah agak tenang, aku mulai bertanya lagi, tapi aku takut kalau aku akan mengorek luka mereka lagi. Daripada aku semakin penasaran jadi aku memberanikan diri bertanya dengan sangat hati – hati. “Maaf sebelumnya ya bu, boleh aku bertanya lagi?” “Oh silahkan,” “Emmm memang bapaknya Wulan kemana bu?” aduh, aku merasa pertanyaanku ini makin frontal. Tapi ibu Sri malah tersenyum dan berkata, “Bapak sudah tenang di alam sana, dia meninggal karena dibunuh debt collector yang managih utang kami. Tetapi kami tidak sanggup membayar. Jadi bapak disiksa sampai meninggal,” ya ampun sampai segitunya kah? “Kejam sekali orang itu!” seruku tak terima dengan perbuatan keji itu. “Yah, namanya juga orang susah, mbak. Jadi selalu tertindas sama orang yang punya.” Jawab ibu enteng. Aku semakin kagum dengan ketabahannya. Di sela penderitaannya, dia begitu sabar menerima semuanya.
Malamnya aku bersama keluargaku pergi berkunjung ke rumah kerabat kami yang lain. Agak jauh rumahnya sehingga akupun kembali kerumah eyang sudah cukup larut. Di jalan, aku seperti melihat Wulan dan Ibu Sri dengan menopang rumput di pundak mereka. “Ah salah lihat mungkin, ini kan sudah gelap,” pikirku. Semakin dekat mobilku dengan mereka sekilas lampu mobil menerangi pandanganku ke arah mereka. Ternyata aku tidak salah lihat. Sedang apa mereka larut malam begini? Masihkah mereka bekerja hingga selarut ini? Akhirnya aku tanya tentang mereka kepada eyang. Kata eyang, memang mereka tak kenal lelah untuk bekerja, bahkan hingga sampai selarut ini.
Keesokan paginya aku ceritakan hal ini kepada mama dan papa. Siapa tahu, mereka mau menjadi orang tua asuh bagi Wulan. Dan nampaknya orang tuaku senang mendengar hal ini. Senang karena anaknya yang manja ini sudah memiliki kepedulian terhadap sesama. Jadi mereka langsung menyetujui permintaanku yang satu ini.
Hari itu, wulan dan Ibu Sri datang ke rumah eyang sudah agak siang. Setelah beberapa lama mereka mengerjaan pekerjaan mereka, mama menyuruhku untuk mengajak mereka maka siang bersama kami sekaligus membicarakan rencana kami. Awalnya mereka menolak ajakanku untuk makan bersama karena mereka merasa malu. Tapi aku berhasil meyakinkan mereka bahwa tidak perlu karena keluargaku orangnya baik-baik. Setelah makan, mulailah percakapan penting itu dimulai. “Saya dengar, Wulan tidak sekolah ya?” tanya mama membuka pembicaraan. “ Iya bu,” jawab ibu sri. “ Kenapa?” tanya papa. Lalu Ibu sri pun menceritakan yang sama seperti yang ia ceritakan kepadaku. Papa langsung mengajukan diri untuk membiayai sekolah Wulan. Tampaknya mereka berdua kaget mendengar hal ini. Namun mereka menolah tawaran ini karena tidak mau balas budi kepada papa. Tapi papa meyakinkan mereka bahwa ia ikhlas melakukan ini semua.
Mereka pun akhirnya setuju. Wulan sekolah di SMP 2 Semangun tetapi harus masuk ke kelas 1 SMP. Dan Ibu Sri kini menjadi pembantu di rumah eyang. Sehingga mereka berdua tinggal di rumah eyang. Sampai sekarang pun Wulan menjadi teman baikku dan kita selalu main bersama tiap aku berkunjung ke tempat eyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar